kini aku menanya BILA CINTANYA TAK SAMPAI
puisi
puisi BILA CINTA TAK SAMPAI
Semoga Hari Bahagia Selalu
Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

http ://www.teaterkail.blogspot.com
Blog Archive
- ▼ 2010 (13)
- ▼ July (10)
- RASAKANLAH, SEKELUMIT KALIMAT
- dongeng nenek
- PEMBERITAHUAN, WORO-WORO ATAU ANCAMAN?
- Nani Tandjung dari Teater Kail Jakarta di Roshberr...
- NANI TANDJUNG dari Teater Kail Jakarta di R...
- PUISI dari kumpulan BILA CINTA TAK SAMPAI
- Jum'at, 15 Juli 2005 ...
- Copy Paste : MADINA online 5 Tahun Gempa Stunami:...
- KISI - KISI TEATER (bahan pelajaranku) OLEH : NAN...
- Karena dialah...
- ▼ July (10)
About Me

- Nani Tandjung
- Nani Tandjung Lahir di Sibolga 26 Agustus 1950 dari Ibu yang tegar bernama Nurdjani, disayangi oleh ayah bernama Chairuddin. Putranya empat orang semuanya lelaki, Dani, Dana, Dinova, dan Miko, teman mereka menjadi temannya. 1982 pernah mampir sebentar kuliah di Institut Kesenian Jakarta Jurusan Teater, 1988 di Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Muhammadiyah Jakarta. Sekarang bekerja sebagai Pimpinan Teater Kail. Sebagai pemain teater sejak tahun 2000 bermain monolog, memberikan work shop teater serta membacakan puisi-puisinya di kota-kota di Jawa, Madura, Bali dan Sumatra
Friday, 2 July 2010
PUISI dari kumpulan BILA CINTA TAK SAMPAI
HERAN-HERAN
Waktu dulu di radio ada iklan tabib
Isinya dia bisa sembuhkan segala sakit
Dari mulut yang terasa pahit
Hingga lidah panjang yang tergigit
Atau tangan panjang yang terjepit
Antaranya lagi ada sakit heran-heran
Yang dengar iklan ini jadi heran
Apa itu sakit heran-heran
Mengherankan lagi si tabib juga heran
Kok bisanya dia asal sebut itu namanya heran-heran
Berikutnya saya dapat penyakit heran-heran
Karena kata orang saya sering keheranan
Tiap ada persoalan saya pasti heran
Bertanya kenapa begini dan begitu dengan heran
Sampai-sampai saya jadi ‘kabancian’
Pasalnya mengapa ada peristiwa berjalan
Yang tidak cocok dengan pelajaran
Yang saya dapatkan di sekolahan
Tentu saja saya jadi bawel dan penasaran
Terus bertanya dengan wajah dungu dan ketololan
Coba saja, masak ada orang ...
Sssttt!!!
Ah, saya takut terus terang
Ah, tak apalah sudah kepalang
Tapi jangan bilang-bilang
Sumpe lo!
Ah, sekarang perut saya murus-murus
Ada aktifis peduli kemanusiaan yang dibekuk mampus
Ah, sekarang kepala saya jadi pusing-pusing
Ingat ada aktifis peduli kemanusiaan yang ditempiling
Ah, sekarang jantung saya degub-degub
Ada aktifis kemanusiaan dimasukkan ruang tertutup
Kalau ada pengawal keadilan kena hukum?
Kalau ada pengawal hati nurani tak punya nurani?
Kalau ada pengawal kebaikan tak berbudi?
Waktu dulu di radio ada iklan tabib
Yang bisa sembuhkan segala sakit
Cukup ciumkan amoniak ke hidung adik
Kontan kau akan terjungkat terjingkat-jangkit
Setelah itu isi kepala segar dan baik
Itu iklan!
Belum tentu cocok dengan kalian
Tapi jangan coba heran
Nanti kena penyakit heran-heran!
Jakarta, 12 April 2005
Bekasi, 14 November 2009
jika diambil kesimpulan, bahwa sudah sejak jaman dahulu kala, sudah ada tersedia karakter-karakter yang membuat dinamisnya kehidupan ini, mengapa pula kita harus merasa HERAN-HERAN?
KELUHAN KAWAN
Mendung yang menyelimut wajah bumi
Memantul kelabu di wajah kami
Guratan yang nyata menandai
Betapa tua kami kini
Biar baju yang kami pakai masih trendi
Warna segar tergosok rapih
Tapi tak bisa tersembunyi
Nafas sengal-sengal berbuih-buih
Telah kami coba berlari cepat
Mencapai garis yang tepat
Sambil berbaris dengan rapat
Tapi kalah juga dengan yang menyeruak
Mereka terbang melayang atau merangkak
Bagai marabunta atau gagak
Mematikan! Skak mat!
Padahal kami sempat re format
Tapi kalau personnya tak satu yang dicegat
Lalu potong-potong masukkan ke laut sebrang Ambalat
Biar dimakan ikan cucut dan todak
Apa yang bisa didapat dari re format?
Antara kami ada sahabat
Menangis karena merasa terjerat
Dalam jaringan para akrobat
Ditelanjangi hingga kemaluannya terlihat
Hingga sempat berpikir walau agak telat
Mana lebih malu kalau tak punya alat
Begini salah begitu haram
Jadi wartawan, wartawan jahannam
Jadi seniman, seniman jahannam
Jadi pengacara, pengacara jahannam
Aku lihat ada tetes darah keluar dari mulutnya
Jakarta 13 April 2005
Bekasi, 14 November 2009
Salam,
dari : Bila Cinta Tak Sampai
Nani Tandjung
Bermain Sandiwara Terus


Jum'at, 15 Juli 2005 PANTURAMenikmati Puisi Melayu Nani TandjungNUANSA Melayu terasa dalam pembacaan puisi Nani Tandjung di aula stasiun radio Sebayu FM Kota Tegal, Selasa malam (12/7). Syair-syair dari kumpulan puisinya "Bila Cinta Tak Sampai" yang dia sajikan bersama tim teater Kail dari Jakarta itu banyak bercerita tentang bencana tsunami. Dia bersama Sutarno SK dan Hendra Juniardi membawa penonton seolah-olah berada di lokasi bencana itu. Nuansa melayu itu tercermin dalam syair Nani Tandjung yang bercerita banyak tentang gempa yang melanda Aceh, Nias dan Sumatera Utara. Di antaranya tersirat dalam puisi berjudul "Love Underasure", "Talibun Tsunami" serta "Ekor Naga Itu Mengibas". Dalam syair berjudul "Ekor Naga Itu Mengibas" ia sebutkan, "Kemarin, Minggu 26 Desember 2004 sekitar pukul 08.00, rupanya dua naga masih bertubrukan, Saling tindih menindih, Saling dorong mendorong penuh kekuatan......". Penampilan Nani Tandjung ketika membawakan puisinya bisa dikatakan mengesankan. Pilihan bahasa yang lugas membuat penonton bisa menangkap pesan lebih cepat. "Saya menciptakan puisi yang dapat diceritakan," papar dia usai pementasan. Memang ketika dia membaca puisi, penonton menangkap kesan seolah-olah Nani sedang bercerita. Kumpulan puisi yang terdiri atas 86 judul tersebut, kata Nani Tandjung, digarapnya sehari setelah bencana tsunami melanda, dengan karya pertama "Love Underasure". Perempuan yang lahir di Sibolga, 26 Agustus 1950 itu menggelar pembacaan puisi dalam rangka tur keliling ke beberapa kota. Tur itu dimulai sejak 5 Juli dan kota yang sudah dikunjungi di antaranya Solo dan Yogyakarta. "Kunjungan kami jadwalkan sampai September 2005 ke beberapa kota, antara lain Malang, Surabaya, dan Jember. Semantara itu kota lain arah barat yang disinggahi di antaranya Bandung dan Rangkas Belitung," ujar dia. Mengenai proses berkesenian, ibu empat anak itu mengaku menggelutinya sejak masih duduk di bangku SD. "Saya ikut kegiatan tari pada waktu SD, jadi saya merasa sudah berkesenian sejak itu." Nani Tandjung yang lebih dikenal sebagai pekerja teater itu juga mengaku pernah menjadi guru TK. Namun aktivitas sebagai guru tersebut sudah ditinggalkan karena dia ingin lebih eksis dalam kesenian. Sebagai seniman, sosok ini peka terhadap kondisi masyarakat. Karena itu, tema puisinya banyak mengangkat apa-apa yang sedang dialami masyarakat, seperti narkoba dan nami. Itu dia lakukan karena tersentuh dan ingin berbuat sesuatu dengan cara yang dia kuasai, yakni berpuisi. Selain itu, bagi dirinya media puisi adalah ajang pembentukan budaya. Karena itu, dia merasa menyesal karena kini telah terjadi pergeseran budaya. Dia pun menuangkan perasaannya itu dalam "Hantu 1" yang berbunyi "padahal kita semua hantu".(Siti Kholidah-52m) |
Copy Paste : MADINA online
5 Tahun Gempa Stunami: Renungan “ Bila Cinta Tak Sampai” | ![]() | ![]() |
Written by admin | |
(Jombang, MADINA): Dunia sastra, teater, seniman, dan puisi pasti mengenal siapa Nani Tandjung. Seorang tokoh sastra, seniman, monolog, sekaligus pimpinan Teater Kail Jakarta. Jumat, pekan lalu, Nani Tandjung, seorang sosok wanita tegar kelahiran Sibolga, 26 Agustus 1950 di Roshberry Café, Jombang, Jawa Timur. Membacakan syair-syair dari kumpulan puisi karyanya berjudul “Bila Cinta Tak Sampai”. Syair-syair Nani Tandjung tersebut bercerita tentang gempa yang melanda Aceh, Nias dan Sumatera Utara, lima tahun silam 26 Desember 2004. Kumpulan puisi yang terdiri atas 86 judul tersebut sengaja digarapnya sehari setelah bencana tsunami Aceh. Acara yang disponsori Roshberry Donuts & Coffee itu dikemas dalam diskusi sastra, puisi, dan doa bersama mengenang peristiwa bencana alam terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Sekitar satu jam, Nani Tandjung membacakan puisi karyanya di hadapan para hadirin, kemudian dilanjutkan dialog. Dengan komunikasi puisi yang intens itu lewat bahasa yang lugas dan tegas, tentulah membakar jiwa, dan sekaligus menyentuh hati. Di sisi lain, acara ini juga diharap dapat membangunkan jiwa para penikmat sastra di Jombang khususnya, dan umumnya di Indonesia, untuk terbawa pada kejadian sesungguhnya. Banyak pesan moral disampaikan dan nilai-nilai filsafat rejius. Dalam syair berjudul "Ekor Naga Itu Mengibas", disebutkan: "Kemarin, Minggu 26 Desember 2004 sekitar pukul 08.00, rupanya dua naga masih bertubrukan, Saling tindih menindih, Saling dorong mendorong penuh kekuatan......". Dalam acara itu di sesi dialog, Nani Tandjung menjelaskan bahwa kejadian dasyat yang mengguncang Aceh tersebut, sebenarnya sebagai wujud kecintaan Tuhan terhadap rakyat Aceh. Nani Tandjung merupakan seorang seniman yang sangat peka terhadap persoalan masyarakat saat ini. Sehingga tema puisinya juga banyak mengangkat persoalan social masyarakat yang tak kunjung terselesaikan. Hatinya tersentuh, semangatnya membakar, mengingatkan kepada kekuasaan melalui berpuisi. Diakhir acara, Nani Tandjung mengapresiasi kegiatan yang diusung Roshberry. Menurutnya, Roshberry café layak sebagai bagian dari café budaya. Beliau juga memberikan pesan moral untuk senantiasa menjaga budaya dan kearifan local. Nani Tandjung sangat mendukung, sebaiknya Roshberry Café menjadi katalisator lahirnya pemuda pelestari budaya local, melaluidiskusi sastra dan budaya, sampai seni pertunjukan. (ros/kir) Jombang 26 Desember 2009 |
KISI - KISI TEATER
(bahan pelajaranku)
OLEH : NANI TANDJUNG
Wajar kalau yang hadir di sebuah konser musik, adalah pemusik dan penikmat musik. Dan membludak. Wajar pula yang hadir di sebuah pentas teater adalah peteater dan penikmat teater. Sayangnya di teater, yang hadir hanya peteater, sedangkan penikmat teater yang asli yang mampu dan mau membayar mahal kenikmatannya, cuma ada di satu pentas grup teater saja.
Persaingan nyaris tak ada. Mengapa era ini hanya Koma yang dikerubuti Penonton,
pencatut karcis diserbu pembeli, seperti Penonton bioskop era ‘60an? Ada apa dengan Teater Bengkel, mengapa tidak semenggairahkan seperti di tahun 70-80an yang dengan yakin menjual karcis dengan harga tinggi. Ada apa juga dengan grup Teater yang lain? Mengapa yang jumlahnya lebih banyak itu tidak punya Penonton setia. Mengapa Penonton suka mendului memprediksi teater yang sedang dipublikasikan akan pentas itu dengan cemooh dan langsung menjadi malas, padahal belum ditonton. Mengapa pula ada Penonton mencemooh seperti tidak puas seusai menonton persis seperti sehabis makan bakso yang kurang rasa. Ini bicara pertunjukan teater panggung. Teater! Live!
Terpancing tanya-jawab yang basi, apakah yang terjadi dengan seni teater itu, yang di sana ada Tontonan dan Penonton serta penghubung dari keduanya. Budi daya apa yang sedang berlangsung hingga jadi peristiwa yang menyulitkan? Apakah Tontonan yang dimasak seniman itu sudah tak sedap? Atau Penonton sedang sakit atau tak sehat, tidak berselera, hingga apa saja yang dikunyah sudah tak nikmat? Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk sama-sama bergairah?
Padahal para tokoh-tokoh teater yang merasa bertanggung jawab atas kehidupan seni teater di negeri ini terus bekerja keras. Dari yang mengadakan diskusi kecil hingga kongres tingkat nasional tak luput menyentuh tentang teater. Betapa pentingnya teater, betapa merananya teater dan sebagainya. Serta ada juga yang perlu membuat ikatan grup teater tingkat kota hingga tingkat nasional agar kesenian teater tidak mati! Mungkin untuk mengantisipasi . SOS. P3K
Ada yang bicara anggun, meyakinkan dengan pertanyaan; siapa bilang teater sudah mati? Atau, teater tidak butuh kamu, tapi kamu yang butuh teater. Atau, kamu bisa saja mati, tapi teater tidak akan pernah mati. Mati tidak, pingsan mungkin.
Buktinya, pernah di satu kelurahan di Kudus, usai menonton teater, para veteran teaterawan menggelegak gairah teaternya, bereuni sepakat untuk menghidupkan kembali grup teaternya meski tahu akan berjalan mengambang tak menapak bumi. Aneh lagi, di pinggiran Tuban, misalnya, grup teater yang baru terus saja berlahiran. Bisa dibayangkan, bayi-bayi teater ini lahir dengan kurus, kurang gizi, kepala besar, mata besar melotot tapi sayu memandang kepada kehidupan yang tak cerah dengan kaki yang kecil tak bisa melangkah. Tapi intinya, teater memang perlu. Teater memang bandel dan sombong. Teater memang hantu.
* Apresiasi Apa yang kurang dari kebandelan kesombongan teater itu? Hallo-hallo sudah, gembar-gembor dijalankan, woro-woro terus juga, apresiasi hingga provokasi tak henti-henti. Itu semua adalah usaha mensosialisasikan, mempublikasikan, memasyarakatkan teater. Dari kentongan yang dipukul-pukul keliling kota hingga poster lux dan siaran layanan masyarakat di televisi dilakukan. Apa yang kurang dari betapa perlunya teater itu dikenalkan di sekolah-sekolah, bahkan nomor-nomor latihan teater diberikan kepada para TKI/TKW tenaga kerja Indonesia, suster-suster perawat, orang tua siswa peserta Sipenmaru, ibu-ibu hamil bersiap melahirkan, pasien rumah sakit, agar setiap orang selalu siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan kehidupan masa depan.
Apa yang kurang dari kehantuan teater, yang selalu membayang-bayang meski sudah bersumpah tak mau lagi berteater! Betapa menggairahkan teater itu bagi yang berteater. Bagi senimannya. (bahkan bagi Penontonnya, betapa bernilainya jika bisa pergi menonton teater! Betapa bernilainya teater itu. (itu kalau di luar negeri))
* Jualan Misal, katakanlah kita akan berjualan kue. Jika kue itu tidak dijajakan dengan suara keras gencar dan memuja-muji sang kue, mana ada orang yang tahu kita sedang berjualan? Akibatnya, kue tak laku, teronggok dan merugi. Besoknya buat lagi seperti itu dengan sisa modal yang ada, hingga rasa dan bentuk tidak lagi menggairahkan, buruknya lagi, besoknya terpaksa menjual kue basi. Terpuruklah si penjual kue itu. Tambah terpuruk, saat si pemasok modalpun menarik diri. Mungkin awalannya seperti itu.
Permisalan itu kita pakai di perteateran. Publikasi sudah dilaksanakan, tetapi masih dianggap tidak maksimal meluas dan menggebu-gebunya. Hingga hanya sedikit orang yang tahu, atau hanya sedikit orang yang tertarik untuk menonton. Ini sangat merugikan lahir batin buat sebuah perusahaan. Publikasi satu bagian sama pentingnya dengan bagian lain di perteateran. Celakalah jika bagian ini terabai, bagai duri tertanam dalam daging, bengkak, nyeri dan fatal. Maka amat mudah, sering kegagalan di perteateran ini mengkambinghitamkan bagian publikasi. Kronis!
Kemudian bagi yang pergi menonton, misalnya, usai menonton, Penonton puas. Tetapi esok harinya terbit di harian Minggu, teater yang mereka tonton itu ternyata dikecam amat sangat buruknya oleh Penonton yang sepanjang malam memberungut menyesal menonton atau pura-pura memberungut. Akibatnya bisa saja, Penonton yang jujur itu mencurigai dirinya, memaki betapa bodohnya dia tadi, (nah, kini dia menjadi pintar). Bisa saja lebih banyak yang takut memaki si pengecam dari pada yang berani menolak, atau percuma meladeninya.
Selanjutnya, apakah suguhan teaternya tak indah, tak enak atau basi? Pertanyaan inipun sempat mempengaruhi calon-calon Penonton yang akhirnya menjadi betul-betul tak mau menonton teater. Khawatir Tontonannya tak enak dan basi. Makin sedikit orang yang berani menonton teater.
Konon pempublikasian dan pemuja-mujian sebuah teater bagi sebagian orang awam (Penonton) cukup membingungkan. Ini sudah terjadi terus menerus, tidak perlu dengan kata jika.
Atau kita akan mengatakan bahwa Penonton kita masih tetap awam, masih bodoh dan belum bisa pintar hanya untuk melakukan pekerjaan menonton saja? Atau apakah seniman si pemasak seni teaternya yang bodoh dan belum bisa pintar untuk merogoh sukma Penonton hingga tahu apa yang harus dihidangkan? Tapi inilah mungkin, yang nasibnya sama dengan si penjual kue yang kehabisan modal itu. Apapun kilahnya.
* Usaha Bangun Hantu teater itu terus membayang. Biar grup teater itu sudah bangkrut atau mati, masih juga ingin hidup. Maka diusahakan untuk hidup terus atau dihidup-hidupkan. Secara asal, besar kemungkinan jika si senimannya hidup makmur, maka grupnya makmur, kecil sekali hitungannya kemakmuran seniman datang dari kehidupan grupnya.
Bicara tentang usaha hidup bagi seniman yang bekerja di sawah seni teater, mungkin boleh juga mengandaikan, berteater sama dengan bertani sawah.
Petani padi berusaha menjualkan hasilnya dengan segala daya kreatifitas. Mengemas dalam kemasan bagus, diletakkan dalam etalase toko mahal, dipublikasikan dalam koran radio atau televisi dengan memakai Public Figur, hingga laku terjual, bahkan ke luar negeri. Mereka bersaing ketat. Daya jual beli dunia padi beras, masih terus berlangsung. Dan berkelas. Tinggal lagi, beras apakah yang akan dikonsumsi oleh Konsumen. Yang Mahal, Enak, Harum dan Halal? Atau Murah dan Sepanyol (separuh nyolong) atau Berkapang? Dengan menutup telinga, kita masih melihat petani ini bisa hidup dari kepetaniannya
* Kemasan Kini pertanyaannya adalah, sudahkah teater mengemas penawarannya yang bagaimana akan dibuat dan akan disantap oleh Penonton. Teater Realis, Absurd? Dari Ceritanya? Mini Kata atau Mini Gerak, Musik atau Non Musik? Tradisi atau Kontemporer? Komedi atau Tragedi? Menyanjung atau Memaki? Pakai Public Figur? di Gedung Teater Bergengsi atau di Lapangan Desa? Pentas Biasa atau Pentas Malam Amal? Yang Mahal, Memintarkan dan Menghibur? Atau Murah dan Seadanya? Ini usaha kan?
* Profesional Contoh lagi, kerja Ustadz, Pendeta atau Ulama Agama yang memberi kalimat-kalimat pelajaran kepada Ummatnya. Semula mereka kerjakan dengan ikhlas, amal ibadah, lalu jadi Profesi, bahkan dapat bayaran dari setiap Undangan Ceramah. Tentu berkelas juga. Mencapai kelasnya, mereka berusaha membumbui isi ceramah dan gayanya agar disukai dan diminati bahkan dikejar oleh fans. Tentu saja juga pasti ada yang Pro atau Kontra, ada yang Suka dan Tak Suka.
Nah, apakah seniman teater bisa dimiripkan dengan hal Ulama Agama ini dalam berkarya? Bolehkan bertanya? Bagaimanakah orang menggauli teater itu? Apakah berteater semata sebagai hobby, satu jalan bersenang-senang, piknik, membayar mahal untuk kesukaannya, berteater itu sebagai salah satu jalan berexpresi untuk sebuah upacara nurani, mengungkapkan perasaan atau sebagai profesi, lahan teater menjadi satu jalan mencari nafkah bahkan dibayar mahal untuk pekerjaannya. Tentukanlah. Yang penting, kekuatan kreatifitas!
* Sisipan Begitu menyatakan diri sebagai warga negara sebuah pemerintahan negara, maka akan ada kewajiban dan berhak. Wajib membayar pajak, sekecil apapun nilainya atau apapun bentuknya. Berhak mendapat layanan sekecil apapun nilainya. Pada saat yang sama pajak terkumpul untuk membiayai jalannya pemerintahan. Di dalamnya ada biaya pembangunan pendidikan termasuk pendidikan kesenian, kesehatan termasuk kesehatan jiwa mungkin gedung kesenian, ekonomi termasuk pasar tradisi, keamanan termasuk membayar gaji pegawai sipil atau militer, mengantisipasi kecelakaan fisik berupa gangguan penjahat misalnya, bencana alam, yang psykis misalnya hewan bersakitan, orang tegang, gila dan bermatian dsb.
Warga negara, berhak mendapat fasilitas dari situ. Selama memungkinkan, pemerintah akan membiayai fasilitas yang diperlukan. Jika tak mungkin terbiayai maka akan ada kerja sama dengan masyarakat yang disebut disubsidi, (terserah usaha pemerintah mencarikan dana subsidi ini). Jika pemerintah tak bisa juga membantu sedangkan fasilitas masih dibutuhkan, maka masyarakat dipersilakan dan diijinkan membangun dan menghidupi tambahan fasilitas dengan biaya swa-sta, (terserah usaha Lembaga Swa-daya Masyarakat mencarikan dana swa ini, sulit meminta kepada Ibu Kita Sendiri, boleh memohon juga kepada Ibu Kota Negara lain), tentunya dengan seleksi.
Ketika pemerintah melihat adanya peningkatan mutu dan keperluan masyarakat dari usaha LSM, bisa saja LSM itu tidak lagi LSM tetapi sudah menjadi urusan pembiayaan pemerintah. Selama kita percaya pada tata usaha pemerintah, maka kita patut bangga pada peningkatan kelas ini.
* Dilema Hingga saat ini, bursa teater masih membeku, dingin tak berdarah. Katakanlah juga, banyak masyarakat yang membutuhkan kesehatan jiwa berbentuk suplemen Tontonan/menonton teater. Tetapi untuk itu dalam bentuk yang lain, masyarakat Penonton merasa tidak mampu untuk membeli. Sudah banyak juga lsm teater yang mencoba ingin melayani keinginan masyarakatnya itu, tapi gagal berjualan (usaha) teaternya. Tidak klop, begitu. Apakah karena harga mahal barang kurang bagus, atau harga tidak bisa dimurahkan karena barang sangat bagus dan mahal modalnya. Tapi usaha mencapai kesepakatan masih terus dilanjutkan.
Nah, untuk melanjutkan perusahaan grupnya inilah, mereka harus terus dan masih saja mencoba untuk mendapatkan paling sedikit, subsidi dari pemerintah supaya bisa menjual murah dengan barang bagus. Sementara itu, untuk mendapatkan subsidi, grup itu harus menjadi Yang Terperlu, Terbaik dan Terpercaya bagi masyarakat. (ada tapi sangat sedikit anak keluarga miskin berhasil meraih cita-cita, bagaimana mungkin?). Nah, bukankah ini sangat melengkapi dilema?
Ujian yang sulit ini, hampir mengesalkan (melelahkan) banyak orang teater. Bingung menentukan predikat dirinya, apakah teater itu sudah profesi, atau masih sekedar hobby atau expresi. Keputusan pengakuan predikat ini mungkin juga bisa mendapatkan kepercayaan masyarakatnya. Bukankah gaji/honor/upah predikat kuli tukang batu sudah ditakarkan dengan standar UMR dan jelas kehidupannya?
Kembali bertanya untuk meyakinkan diri, sudahkah masyarakat Penonton teater kita seperti masyarakat yang membutuhkan beras, murah atau mahal, atau sesekali memesan semangkuk sup ayam atau segelas tinggi ramping jus mangga? Di jaman teknologi yang serba canggih ini, sudahkah atau masihkah seni teater itu diperlukan? Apakah betul ada dampak kebaikannya untuk kesehatan jiwa? Apakah cukup terpercaya sebagai pemintar atau penghibur? Sudahkah media teater menjadi kendaraan iklan yang baik dan menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan dagang sehingga kehidupan berjalan dengan lancar karena saling mendapat keuntungan?
Adilkah pemerintah memberikan subsidi pada grup teater atau seniman teater? Sebanyak apakah orang-orang teater itu? Bisakah pemerintah menambah nilai subsidinya? Apakah tidak mungkin yang nampak nantinya bahwa pelayanan bagi orang teater di kita hampir sama dengan pelayanan dari departemen sosial kepada penganggur di manca negara? Sampai akhir, yang ada hanyalah pertanyaan. Ternyata membuat pertanyaan tentang teater itu mudah, maka tak perlu ada honor, ketimbang persoalan ujian nasional atau ulangan umum.
Mungkin yang bisa diharapkan adalah usaha pemerintah untuk melakukan tindakan yang jeli membuat keseimbanganan bagi habitat kesenian, demi membantu dunia perteaterannya, atau bagaimana menurut anda?
(selamat ulang tahun teater kail, 7 desember 05)
OLEH : NANI TANDJUNG
Wajar kalau yang hadir di sebuah konser musik, adalah pemusik dan penikmat musik. Dan membludak. Wajar pula yang hadir di sebuah pentas teater adalah peteater dan penikmat teater. Sayangnya di teater, yang hadir hanya peteater, sedangkan penikmat teater yang asli yang mampu dan mau membayar mahal kenikmatannya, cuma ada di satu pentas grup teater saja.
Persaingan nyaris tak ada. Mengapa era ini hanya Koma yang dikerubuti Penonton,

Terpancing tanya-jawab yang basi, apakah yang terjadi dengan seni teater itu, yang di sana ada Tontonan dan Penonton serta penghubung dari keduanya. Budi daya apa yang sedang berlangsung hingga jadi peristiwa yang menyulitkan? Apakah Tontonan yang dimasak seniman itu sudah tak sedap? Atau Penonton sedang sakit atau tak sehat, tidak berselera, hingga apa saja yang dikunyah sudah tak nikmat? Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk sama-sama bergairah?
Padahal para tokoh-tokoh teater yang merasa bertanggung jawab atas kehidupan seni teater di negeri ini terus bekerja keras. Dari yang mengadakan diskusi kecil hingga kongres tingkat nasional tak luput menyentuh tentang teater. Betapa pentingnya teater, betapa merananya teater dan sebagainya. Serta ada juga yang perlu membuat ikatan grup teater tingkat kota hingga tingkat nasional agar kesenian teater tidak mati! Mungkin untuk mengantisipasi . SOS. P3K
Ada yang bicara anggun, meyakinkan dengan pertanyaan; siapa bilang teater sudah mati? Atau, teater tidak butuh kamu, tapi kamu yang butuh teater. Atau, kamu bisa saja mati, tapi teater tidak akan pernah mati. Mati tidak, pingsan mungkin.
Buktinya, pernah di satu kelurahan di Kudus, usai menonton teater, para veteran teaterawan menggelegak gairah teaternya, bereuni sepakat untuk menghidupkan kembali grup teaternya meski tahu akan berjalan mengambang tak menapak bumi. Aneh lagi, di pinggiran Tuban, misalnya, grup teater yang baru terus saja berlahiran. Bisa dibayangkan, bayi-bayi teater ini lahir dengan kurus, kurang gizi, kepala besar, mata besar melotot tapi sayu memandang kepada kehidupan yang tak cerah dengan kaki yang kecil tak bisa melangkah. Tapi intinya, teater memang perlu. Teater memang bandel dan sombong. Teater memang hantu.
* Apresiasi Apa yang kurang dari kebandelan kesombongan teater itu? Hallo-hallo sudah, gembar-gembor dijalankan, woro-woro terus juga, apresiasi hingga provokasi tak henti-henti. Itu semua adalah usaha mensosialisasikan, mempublikasikan, memasyarakatkan teater. Dari kentongan yang dipukul-pukul keliling kota hingga poster lux dan siaran layanan masyarakat di televisi dilakukan. Apa yang kurang dari betapa perlunya teater itu dikenalkan di sekolah-sekolah, bahkan nomor-nomor latihan teater diberikan kepada para TKI/TKW tenaga kerja Indonesia, suster-suster perawat, orang tua siswa peserta Sipenmaru, ibu-ibu hamil bersiap melahirkan, pasien rumah sakit, agar setiap orang selalu siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan kehidupan masa depan.
Apa yang kurang dari kehantuan teater, yang selalu membayang-bayang meski sudah bersumpah tak mau lagi berteater! Betapa menggairahkan teater itu bagi yang berteater. Bagi senimannya. (bahkan bagi Penontonnya, betapa bernilainya jika bisa pergi menonton teater! Betapa bernilainya teater itu. (itu kalau di luar negeri))
* Jualan Misal, katakanlah kita akan berjualan kue. Jika kue itu tidak dijajakan dengan suara keras gencar dan memuja-muji sang kue, mana ada orang yang tahu kita sedang berjualan? Akibatnya, kue tak laku, teronggok dan merugi. Besoknya buat lagi seperti itu dengan sisa modal yang ada, hingga rasa dan bentuk tidak lagi menggairahkan, buruknya lagi, besoknya terpaksa menjual kue basi. Terpuruklah si penjual kue itu. Tambah terpuruk, saat si pemasok modalpun menarik diri. Mungkin awalannya seperti itu.
Permisalan itu kita pakai di perteateran. Publikasi sudah dilaksanakan, tetapi masih dianggap tidak maksimal meluas dan menggebu-gebunya. Hingga hanya sedikit orang yang tahu, atau hanya sedikit orang yang tertarik untuk menonton. Ini sangat merugikan lahir batin buat sebuah perusahaan. Publikasi satu bagian sama pentingnya dengan bagian lain di perteateran. Celakalah jika bagian ini terabai, bagai duri tertanam dalam daging, bengkak, nyeri dan fatal. Maka amat mudah, sering kegagalan di perteateran ini mengkambinghitamkan bagian publikasi. Kronis!
Kemudian bagi yang pergi menonton, misalnya, usai menonton, Penonton puas. Tetapi esok harinya terbit di harian Minggu, teater yang mereka tonton itu ternyata dikecam amat sangat buruknya oleh Penonton yang sepanjang malam memberungut menyesal menonton atau pura-pura memberungut. Akibatnya bisa saja, Penonton yang jujur itu mencurigai dirinya, memaki betapa bodohnya dia tadi, (nah, kini dia menjadi pintar). Bisa saja lebih banyak yang takut memaki si pengecam dari pada yang berani menolak, atau percuma meladeninya.
Selanjutnya, apakah suguhan teaternya tak indah, tak enak atau basi? Pertanyaan inipun sempat mempengaruhi calon-calon Penonton yang akhirnya menjadi betul-betul tak mau menonton teater. Khawatir Tontonannya tak enak dan basi. Makin sedikit orang yang berani menonton teater.
Konon pempublikasian dan pemuja-mujian sebuah teater bagi sebagian orang awam (Penonton) cukup membingungkan. Ini sudah terjadi terus menerus, tidak perlu dengan kata jika.
Atau kita akan mengatakan bahwa Penonton kita masih tetap awam, masih bodoh dan belum bisa pintar hanya untuk melakukan pekerjaan menonton saja? Atau apakah seniman si pemasak seni teaternya yang bodoh dan belum bisa pintar untuk merogoh sukma Penonton hingga tahu apa yang harus dihidangkan? Tapi inilah mungkin, yang nasibnya sama dengan si penjual kue yang kehabisan modal itu. Apapun kilahnya.
* Usaha Bangun Hantu teater itu terus membayang. Biar grup teater itu sudah bangkrut atau mati, masih juga ingin hidup. Maka diusahakan untuk hidup terus atau dihidup-hidupkan. Secara asal, besar kemungkinan jika si senimannya hidup makmur, maka grupnya makmur, kecil sekali hitungannya kemakmuran seniman datang dari kehidupan grupnya.
Bicara tentang usaha hidup bagi seniman yang bekerja di sawah seni teater, mungkin boleh juga mengandaikan, berteater sama dengan bertani sawah.
Petani padi berusaha menjualkan hasilnya dengan segala daya kreatifitas. Mengemas dalam kemasan bagus, diletakkan dalam etalase toko mahal, dipublikasikan dalam koran radio atau televisi dengan memakai Public Figur, hingga laku terjual, bahkan ke luar negeri. Mereka bersaing ketat. Daya jual beli dunia padi beras, masih terus berlangsung. Dan berkelas. Tinggal lagi, beras apakah yang akan dikonsumsi oleh Konsumen. Yang Mahal, Enak, Harum dan Halal? Atau Murah dan Sepanyol (separuh nyolong) atau Berkapang? Dengan menutup telinga, kita masih melihat petani ini bisa hidup dari kepetaniannya
* Kemasan Kini pertanyaannya adalah, sudahkah teater mengemas penawarannya yang bagaimana akan dibuat dan akan disantap oleh Penonton. Teater Realis, Absurd? Dari Ceritanya? Mini Kata atau Mini Gerak, Musik atau Non Musik? Tradisi atau Kontemporer? Komedi atau Tragedi? Menyanjung atau Memaki? Pakai Public Figur? di Gedung Teater Bergengsi atau di Lapangan Desa? Pentas Biasa atau Pentas Malam Amal? Yang Mahal, Memintarkan dan Menghibur? Atau Murah dan Seadanya? Ini usaha kan?
* Profesional Contoh lagi, kerja Ustadz, Pendeta atau Ulama Agama yang memberi kalimat-kalimat pelajaran kepada Ummatnya. Semula mereka kerjakan dengan ikhlas, amal ibadah, lalu jadi Profesi, bahkan dapat bayaran dari setiap Undangan Ceramah. Tentu berkelas juga. Mencapai kelasnya, mereka berusaha membumbui isi ceramah dan gayanya agar disukai dan diminati bahkan dikejar oleh fans. Tentu saja juga pasti ada yang Pro atau Kontra, ada yang Suka dan Tak Suka.
Nah, apakah seniman teater bisa dimiripkan dengan hal Ulama Agama ini dalam berkarya? Bolehkan bertanya? Bagaimanakah orang menggauli teater itu? Apakah berteater semata sebagai hobby, satu jalan bersenang-senang, piknik, membayar mahal untuk kesukaannya, berteater itu sebagai salah satu jalan berexpresi untuk sebuah upacara nurani, mengungkapkan perasaan atau sebagai profesi, lahan teater menjadi satu jalan mencari nafkah bahkan dibayar mahal untuk pekerjaannya. Tentukanlah. Yang penting, kekuatan kreatifitas!
* Sisipan Begitu menyatakan diri sebagai warga negara sebuah pemerintahan negara, maka akan ada kewajiban dan berhak. Wajib membayar pajak, sekecil apapun nilainya atau apapun bentuknya. Berhak mendapat layanan sekecil apapun nilainya. Pada saat yang sama pajak terkumpul untuk membiayai jalannya pemerintahan. Di dalamnya ada biaya pembangunan pendidikan termasuk pendidikan kesenian, kesehatan termasuk kesehatan jiwa mungkin gedung kesenian, ekonomi termasuk pasar tradisi, keamanan termasuk membayar gaji pegawai sipil atau militer, mengantisipasi kecelakaan fisik berupa gangguan penjahat misalnya, bencana alam, yang psykis misalnya hewan bersakitan, orang tegang, gila dan bermatian dsb.
Warga negara, berhak mendapat fasilitas dari situ. Selama memungkinkan, pemerintah akan membiayai fasilitas yang diperlukan. Jika tak mungkin terbiayai maka akan ada kerja sama dengan masyarakat yang disebut disubsidi, (terserah usaha pemerintah mencarikan dana subsidi ini). Jika pemerintah tak bisa juga membantu sedangkan fasilitas masih dibutuhkan, maka masyarakat dipersilakan dan diijinkan membangun dan menghidupi tambahan fasilitas dengan biaya swa-sta, (terserah usaha Lembaga Swa-daya Masyarakat mencarikan dana swa ini, sulit meminta kepada Ibu Kita Sendiri, boleh memohon juga kepada Ibu Kota Negara lain), tentunya dengan seleksi.
Ketika pemerintah melihat adanya peningkatan mutu dan keperluan masyarakat dari usaha LSM, bisa saja LSM itu tidak lagi LSM tetapi sudah menjadi urusan pembiayaan pemerintah. Selama kita percaya pada tata usaha pemerintah, maka kita patut bangga pada peningkatan kelas ini.
* Dilema Hingga saat ini, bursa teater masih membeku, dingin tak berdarah. Katakanlah juga, banyak masyarakat yang membutuhkan kesehatan jiwa berbentuk suplemen Tontonan/menonton teater. Tetapi untuk itu dalam bentuk yang lain, masyarakat Penonton merasa tidak mampu untuk membeli. Sudah banyak juga lsm teater yang mencoba ingin melayani keinginan masyarakatnya itu, tapi gagal berjualan (usaha) teaternya. Tidak klop, begitu. Apakah karena harga mahal barang kurang bagus, atau harga tidak bisa dimurahkan karena barang sangat bagus dan mahal modalnya. Tapi usaha mencapai kesepakatan masih terus dilanjutkan.
Nah, untuk melanjutkan perusahaan grupnya inilah, mereka harus terus dan masih saja mencoba untuk mendapatkan paling sedikit, subsidi dari pemerintah supaya bisa menjual murah dengan barang bagus. Sementara itu, untuk mendapatkan subsidi, grup itu harus menjadi Yang Terperlu, Terbaik dan Terpercaya bagi masyarakat. (ada tapi sangat sedikit anak keluarga miskin berhasil meraih cita-cita, bagaimana mungkin?). Nah, bukankah ini sangat melengkapi dilema?
Ujian yang sulit ini, hampir mengesalkan (melelahkan) banyak orang teater. Bingung menentukan predikat dirinya, apakah teater itu sudah profesi, atau masih sekedar hobby atau expresi. Keputusan pengakuan predikat ini mungkin juga bisa mendapatkan kepercayaan masyarakatnya. Bukankah gaji/honor/upah predikat kuli tukang batu sudah ditakarkan dengan standar UMR dan jelas kehidupannya?
Kembali bertanya untuk meyakinkan diri, sudahkah masyarakat Penonton teater kita seperti masyarakat yang membutuhkan beras, murah atau mahal, atau sesekali memesan semangkuk sup ayam atau segelas tinggi ramping jus mangga? Di jaman teknologi yang serba canggih ini, sudahkah atau masihkah seni teater itu diperlukan? Apakah betul ada dampak kebaikannya untuk kesehatan jiwa? Apakah cukup terpercaya sebagai pemintar atau penghibur? Sudahkah media teater menjadi kendaraan iklan yang baik dan menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan dagang sehingga kehidupan berjalan dengan lancar karena saling mendapat keuntungan?
Adilkah pemerintah memberikan subsidi pada grup teater atau seniman teater? Sebanyak apakah orang-orang teater itu? Bisakah pemerintah menambah nilai subsidinya? Apakah tidak mungkin yang nampak nantinya bahwa pelayanan bagi orang teater di kita hampir sama dengan pelayanan dari departemen sosial kepada penganggur di manca negara? Sampai akhir, yang ada hanyalah pertanyaan. Ternyata membuat pertanyaan tentang teater itu mudah, maka tak perlu ada honor, ketimbang persoalan ujian nasional atau ulangan umum.
Mungkin yang bisa diharapkan adalah usaha pemerintah untuk melakukan tindakan yang jeli membuat keseimbanganan bagi habitat kesenian, demi membantu dunia perteaterannya, atau bagaimana menurut anda?
(selamat ulang tahun teater kail, 7 desember 05)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar