Senin, 01 Agustus 2011

salinan dari FB nani tandjung

MANUSIA SETENGAH DEWA

oleh Nani Tandjung Full pada 27 Juli 2011 jam 12:11

Bubur  merah menindih bubur putih. Biarkanlah. Dalam tempo tertentu, mereka tidak bercampur, dan biarkan lebih lama lagi, tentu mereka tak kuat menahan kekentalan diri, lalu  mencair  dan menyatu saling mempengaruhi. Tetapi semoga masih ada kemungkinan, walau bentuk berubah, nama pun berubah, tak usah khawatir, jika rajin, asal usulnya masih bisa ditelusuri. Mengumpulkan penyebutan atau penamaan serta kegunaan benda dan peristiwa itu, lumayan banyak.

Maka adalah sekumpulan orang yang menginginkan kebaikan, (yang sebagian orang menilai ukuran kebaikan itu tak terhingga atau relative). Dengan caranya, dalam kebersamaan, mereka melakukan semacam doa, upacara ritual, magis, atau apapun itu, dan itu adalah usaha menuju keinginan tadi.

Katakanlah, upacara itu telah dilakukan oleh orang-orang Yunani jaman kuno, di suatu tempat, teater. Sehingga, Teater, dalam sejarah dunia, dikatakan adalah sebuah tempat berkumpul orang-orang untuk melakukan sebuah peristiwa ritual keagamaan di Yunani kuno. Sebuah peristiwa. Yang jika dibayangkan adalah satu upacara kebersamaan, yang didorong oleh adanya harapan, perasaan indah, nikmat, ngeri, berhubungan dengan sesuatu yang gaib, roh-roh, mantra-mantra dan khusyuk.

Suatu ketika, Pemimpin melakukan penjelasan bahkan mencoba memberi contoh dengan perwujudan dari  keinginan, ketidak-sukaan, bahkan keadaan dunia roh dan kegaiban kepada jemaahnya. maka untuk lebih nyaman mendengar dan memperhatikan pelajaran, kadang dilakukan pemisahan ruangan antara pemimpin beserta keluarganya dengan jemaah lain. Kalau kurang jelas, bisa terjadi interaksi antara pemimpin dan jemaah.

Pada bagian mewujudkan percontohan sebuah peristiwa, dikatakan itu adalah dramoa, pengulangan peristiwa. Kata dramoa ini kemudian bergeser menjadi drama. Tentunya menyampaikan keinginan dalam keagamaan tidaklah cukup sekali atau dua kali, bahkan berulang-ulang. Pada waktunya, kata teater dari  pengertian tempat bergeser menjadi pengertian sebagai tontonan. Dari sejarah Yunani itu, dapatlah dikatakan Teater  adalah semacam sarana perantara, mediator menuju kebaikan.

Persoalanpun meluas. Ketika dunia mengiyakan bahwa teater itu berawal dari Yunani Kuno, ya sudahlah. Benih-benih teater inipun diterbangkan angin, sehingga sampailah ke segala penjuru dunia, termasuk Indonesia. Entah siapa dahulu sampainya, tetapi tumbuhnya roh-roh teater ini dipengaruhi oleh jarak pengakraban dengan alam barunya.

Tetapi perlu juga disombongi, bahwa kita  manusia di Indonesia ini, pernah punya niatan berbuat baik, maka lahir pula pikiran-pikiran untuk beragama, dan menggunakan “sesuatu” itu sebagai sarana pembelajaran. Mungkin itu juga, teater namanya.

Yang tercatat dalam sejarah keagamaan, dalam upaya menyampaikan pelajaran, semisal, diantara Wali Songo, ada yang meneruskan pemakaian kisah ‘Arjuna dan Krisna dengan visualisasi wayang dengan segala perangkatnya sebagai sarana beragama Hindu’ untuk  Islam di pulau Jawa. Belakangan ini dalam sejarah kebangsaan Indonesia, yang masih sempat tercatat, kesenian toneel, yaitu kelompok sandiwara menghibur  dari Kelompok Sandiwara Dardanela, dan banyak juga  kelompok Sandiwara dengan pesan-pesan rahasia dari tokoh perjuangan untuk masyarakatnya menyebar di Indonesia.

Tanaman teater ini tumbuh di alamnya. Sebagaimana terkadang kita suka sesekali merasakan spageti atau hamburger, bolehlah kita juga sesekali menikmati pentas teater yang tumbuh di Broadway, atau di Tabanan misalnya sehingga kita bisa membedakan rasa teaternya yang sudah barang tentu masing-masing teater itu juga dipengaruhi oleh alam yang dipenuhi oleh roh-roh dan kegaibannya. Kekuatan gaib ini saling mempengaruhi dengan kekuatan ritual. Roh-roh dan kegaiban inilah yang akan tervisual oleh para seniman sebagaimana terjadi pada peristiwa upacara ritual Yunani kuno tersebut.

Itupun jika para seniman mempunyai ketajaman mata batin untuk menangkap tanda. Sehingga dalam hal ini, yang pada awalnya masing-masing alam mempunyai karakter, karena terjadi saling mempengaruhi antara seniman dan alam, hasilnya akan terlihat pada kehidupan nyata. Atau terbentuknya dunia nyata berdasarkan apa adanya kekayaan alam masing-masing, tergantung pada  pengasahan ketajaman batin para senimannya.

Pengarang, Sutradara, Kelompok Teater yang adalah seorang pemimpin ritual beserta keluarganya memang harus memiliki ketajaman batin. Sebagai perantara, antara dunia roh dan dunia nyata.  Ketajaman batin yang kadang kala tanpa disadari sebagai hasil pemikiran, logika inilah, jika di Jepang, orang teater atau seniman, diakui sebagai manusia setengah dewa. Nyaris menjadi ‘gila’ jika pada waktu telah berselang lama, begitu pemvisualisasi dunia roh dan kegaiban ini ditelaah kembali, maka banyak orang tercengang-cengang kagum, mengakui kehebatan ketajaman batin sang seniman. Padahal, bisa saja terjadi pengulangan peristiwa yang sama jika unsurnya sama, perbedaannya hanya pada ruang dan waktu. Dan itulah kehebatan seniman yang selalu belajar dan berpikir dengan teliti, tak meluputkan peristiwa biasa yang sebenarnya luar biasa. Semua terjadi berulang-ulang .

Dalam upacara ritual, siapa saja yang berada dalam satu ruangan atau teater, terlibat dalam kebersamaan berdoa. Dalam kerja teater, Pengarang, Sutradara dan Anggota, akan melibatkan Penonton, merupakan kesatuan dan kebersamaan untuk memiliki kecerdasan, yang terjadi pada ruang dan waktu  pemerosesan, yakni dalam peristiwa teater. Dengan harapan, kecerdasan ini akan terwujud di dunia nyata.     

Ketajaman batin sangat penting bagi siapa saja. Ketajaman batin disebut juga sebagai petualangan,  keliaran, kenakalan,  atau bahkan pemberontakan pikiran yang mampu menembus lapisan-lapisan kabut penutup kemurnian dan kebenaran. Lapisan-lapisan padat yang kemudian menjadi kewajaran dalam kebudi-dayaan. Ketajaman batin akan menyeruak masuk menembus mencari inti pengaruh. Karena itu, yang memiliki kemampuan mengusik, menguak dan membabat ini, harus siap menghadapi resiko karena sudah berani mengusik-usik kebiasaan yang sedang berlangsung pada dunia nyata. Bisa jadi ini sebuah pembaharuan, bisa juga ini adalah pengembalian ke awal yang terlupakan.

Tetapi ada juga seniman atau pekerja kesenian yang tak mengacuhkan hal-hal yang metaphysic. Padahal betapa realis atau normalnya sebuah hasil karya kesenian tentu dipengaruhi oleh sesuatu yang tak nampak. Karena itu akan terlihat kekuatan sang seniman apakah dia dapat  menundukkan pengaruh alamnya, atau dia begitu lemah dan lunak, membiarkan dirinya dibalut oleh lapisan yang kebiasaan atau yang biasa-biasa saja, yang menutupi kebenaran, yang tak mengusik.

Jika terjadi peristiwa seperti ini, maka Penonton pun tak mendapat kelebihan dari apa yang mereka punya, kecuali bagi Penonton pemula yang tak memiliki apa-apa lalu mempunyai apa-apa sekecil apapun yang telah diberikan teater tersebut, atau mungkin saja terjadi penolakan atau pemuntahan.

Dari kekuatan alam yang absurd itu akan muncul juga sesuatu yang akan melahirkan bentuk yang lebih absurd. Sesuatu yang alot, kuat, yang mampu membentuk karakter dan mempengaruhi. Kekuatan ini akan menampilkan perbedaan antara seniman. Mungkin juga ini sebuah pilihan atau sebuah pencapaian. Bisa jadi selain karya dan pemikirannya, sang seniman akan berpenampilan aneh nyaris menjadi focus interest.  Sangat kuat ke-aku-annya, meski keakuan itu dianggap wajar. Bagi penonton yang sudah bisa memilih, mereka boleh atau akan memilih. Memilih dan memikirkan mana yang lebih baik dan wajar. Yang sesuai dengan pelajaran yang dianutnya dan sesuai dengan kecerdasannya.. 

Jadi, jika sebuah kelompok teater tak mampu mengajak Penonton menjadi cerdas, hal ini akan tervisual pada dunia kenyataan. Atau boleh juga, dibaca sebaliknya, jika masyarakat dunia nyata tidaklah cerdas, maka kerja kelompok teaterlah yang harus membuat masyarakatnya menjadi cerdas, ajak mereka untuk menjadi Penonton yang mampu memilih kebaikan. Perlu dipertanyakan apakah masyarakat Indonesia sudah merata kecerdasannya. Pada dasarnya teater di Yunani kuno itu bermaksud menuju kebaikan, saya kira.

Jatinegara, 25 Juli  2011
Nani Tandjung, Pemonolog
Teater Kail

    • Ayak Mh Bunda .. saya jd terharu membacanya ..... lalu apa komentar bunda sbg penonton ttg pertunjukan saya (Teater Nusantara) ?
      27 Juli jam 18:46 · · 36 orang
    • Gepeng Nugroho inilah perjalanan supranatural yg tdk mudah di ungkap secara akal oleh kebnyakan orang. Salam
      28 Juli jam 7:12 · · 25 orang
    • Nani Tandjung Full
      salam kepada > Ayak Mh, pertunjukanmu yang berawal dari sebuah ide atau gagasan Yadi Kasuh, telah membawa pesan kebaikan. Kau sebagai Sutradara atau Penceramah insyaAllah telah mempunyai NIAT juga untuk menyampaikan kebaikan itu. Namun baha...Lihat Selengkapnya
      28 Juli jam 12:28 · · 1 orang
    • Nani Tandjung Full Salam kepada > Gepeng Nugroho, ya dan ya, 'Peng, Pertama, Perjalanan supranatural seseorang siapa saja yang telah ikhlas masuk ke jalan Kesenian khususnya Teater, dan mendapatkan Ketajaman batin dan melaksanakan tugasnya. Ke dua, terima kasih, sudah merespon.
      28 Juli jam 12:33 ·
    • Nani Tandjung Full Terima kasih atas 'Suka' nya, kawan2, apalagi jika sudi berinteraksi dengan kawan lain demi sebuah kecerdasan. Sehingga kita tidak mengomel sia2 kepada negeri ini :)))
      28 Juli jam 12:35 ·
    • Ayak Mh Salam utk Bunda .. terimakasih atas komentarnya .. ini sangat berarti bwt saya & tmn2 di Teater Nusantara ..
      28 Juli jam 15:54 · · 1 orang
    • Heliana Sinaga selamat ya bu'de. keren euy
      Sabtu pukul 12:06 · · 21 orang
    • Ayi Noe nol pun satu bahkan delapan.....merunduk
      Sabtu pukul 12:41 · · 1 orang
    • Nani Tandjung Full jika masyarakat indonesia jaman ini seperti apa adanya sekarang ini, itu adalah hasil karya para guru ( baca: seniman) yang berusia 60tahun ke atas. maka tugas seniman ( baca: guru) 60 tahun ke bawah... 60, 59. 58 dst.... untuk membenahi rumah yang nyaris berantakan ini...
      Kemarin jam 0:23 ·

Tidak ada komentar:

Posting Komentar